Kalau saja ibu tahu, dunia ini tak punya tempat untuk anak piatu.
Rasanya seperti baru kemarin kita rayakan hari jadi bertiga. Saya diapit di tengah oleh dua manusia paling saya kagumi ketangguhannya, kiri kanan serasa lihat figur paling langka sampai tak ada satu anak pun di dunia ini yang beruntung selain saya.
Rasanya seperti baru kemarin kita ambil gambar di depan gedung fakultas dengan saya yang berlapis baju toga, tangan kanan dengan ijazah dan yang kiri penuh sebuket bunga. Masih tersemat apik di kepala bagaimana senyum itu terukir begitu halus dan manisnya, diselingi gelak tawa yang tak saya sangka kini bakal buat tangis saking setengah mati rindunya.
Rasanya seperti tak pernah ada bendera duka dikibarkan di depan rumah, seperti tak pernah terdengar sahutan yang dikumandangkan di masjid tentang kepergiannya yang semendadak musibah. Rasanya seperti tak pernah melihat figur ringkih itu terbaring pucat dengan puluhan orang berdatangan dari segala arah, mengelilingi wujud lemah itu dengan bibir terus-menerus merapalkan doa yang sedikit banyak semoga dijabah.
Saya tak pernah tahu kalau pekerjaan pertama saya adalah hal nomor satu yang dilewatkannya. Hal nomor dua akan jadi berita baru tentang buku-buku yang akhirnya terbit, dan hal ketiga akan jadi cerita di antara sambungan telepon malam ketika masa sulit. Hal keempat mungkin akan jadi pernikahan saya—yang entah dengan siapa, disusul kelahiran cucu pertama dan satu-satunya. Semua dilewatkannya begitu saja, tanpa sapa, tanpa aba-aba, pun tanpa pesan terakhir barangkali masih ada yang belum tersampaikan seutuhnya.
Saya jadi yang paling lama berduka, jadi yang paling besar rasa sesalnya sebab tak sempat beri salam terakhir sewaktu yang tersayang hampir meregang nyawa.
Pun sepertinya, saya juga jadi satu-satunya yang tak punya malu, gontai langkahkan kaki menuju raga yang semakin lama semakin dingin dan kaku itu. Bibir saya bergetar, isak tangis tak lagi terdengar sebab rasa sesaknya kian menjalar.
Saya tahu, ibu maunya ditemani, maunya terus dielus punggung tangannya sembari dibilangi, “Nanti kita pergi dari sini,” sebab tak pernah sekalipun beliau mau dianggap sakit sampai harus dibaringkan setiap hari.
Saya tahu, dan sudah seharusnya saya kembali. Dari awal, dari sebelum keputusan untuk merantau jauh ke kota orang itu terbersit di kepala, sudah seharusnya saya urungkan segala niat untuk berlagak mandiri.
Sekarang, yang saya punya cuma rasa malu, representasi rasa bersalah yang membusuk karena muaranya tak kunjung ketemu. Kalau saja ibu tahu, dunia ini tak punya tempat untuk anak piatu.