Cinta dari kacamata si paling merana.
Cinta itu selalu ada. Di balik toko buku tua, terkadang masih kutemukan cinta apik tersemat di antara buku-buku koleksi usangnya. Atau di bawah temaram lampu yang kalau pagi mulai satu per satu mati dan terganti dengan benderangnya mentari, bisa saja masih kutemukan cinta berwujud genggam hangat tangan seorang ayah yang antar putri kecilnya ke sekolah sambil berjalan kaki.
Cinta terkadang juga kutemukan di belakang figura foto keluarga. Tertulis, "Lebaran 2015" di sana, momen terakhir bersama ibunda yang dapat ditangkap lensa kamera. Cinta juga tak jarang kutemui di dalam kafeteria kala jam istirahat tiba; aku dan cinta pertamaku duduk berhadapan dengan semangkuk sup jagung hangat untuk disantap berdua.
Semakin dewasa, cinta bagiku bukan sekadar untaian kata perihal asmara yang membara. Bukan juga hanya sebatas ungkapan bahwa jantung gugup berdetak kala tak sengaja bersitatap. Bukan juga perasaan gundah gulana ketika perasaan berujung tak seirama. Bagiku, yang telah berkali-kali kehilangan cinta baik sebagai seorang kekasih, anak, dan sejatinya manusia; cinta itu betul beragam wujudnya.
Namun, ada satu cinta yang ingin kubagikan di sini. Cinta yang kata orang paling tulus dan berkesan sebab dijumpai di usia sembilan belas. Cinta yang buat susah lupa, cinta yang dulunya buatku tak pernah ingin lupa. Meski cinta itu kini tak bersisa, berwujud memori yang lambat laun akan mati ditelan usia, buatku tak apa. Aku percaya kalau entah di mana pun itu, cinta yang pernah buatku merasa amat hidup dan aman itu pasti telah kekal bersemayam.
Cinta itu berwujud satu anak manusia yang katanya sempat malu untuk ungkapkan rasa. Yang lucunya, aku juga sempat diam-diam menaruh hal yang sama. Entah ini kebetulan atau trik semesta, sampai saat ini pun aku enggan menerka. Kata dia, aku sempurna. Katanya tulisanku buat dia hidup sepenuhnya. Katanya juga aku orang yang paling dikaguminya setelah Bunda. Kataku, dusta. Kataku dia cuma cuap-cuap belaka. Kataku, sambil tertawa, "Kamu mah bisanya bercanda!"
Lalu, kami berkelana berdua. Betul, hanya berdua. Eh ... dengan seekor kucing dan segudang cita-cita, tepatnya. Cita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke negeri seberang, mimpi untuk membeli rumah di pedesaan, juga harap agar genggam tangan kami senantiasa erat sampai di penghujung jalan.
Sayangnya, doa tersebut terlalu cepat dikabulkan. Ujung jalannya terlalu buru-buru menyapa sampai kami lupa kalau berdoa seharusnya lebih detil dan signifikan! Namun, lagi-lagi, tak apa, masih tetap kutemukan cinta meski di antara patah reruntuhan rumah yang aku pikir bakal dihuni sampai lanjut usia. Masih tetap kutemukan cinta bersemayam di kenangan manis yang terekam apik di kepala.
Sampai kapan pun, sampai lupa, sampai menua. Sampai kembali berjumpa di pusara.
