Amigdala.
1 min readApr 1, 2024
Photo by DANNY G on Unsplash

Anak sepuluh tahun itu takut mati. Takut tiba-tiba diminta telantarkan rumah serta orang-orang yang harganya hampir seperti nyawa sendiri. Takut diminta pergi yang jauh dan dilarang kembali. Anak sepuluh tahun itu masih takut mati; pendar di matanya surut, pancarkan elegi, gelisah kala dengar televisi gembor-gemborkan berita kiamat sebentar lagi. Anak sepuluh tahun itu masih takut tiba-tiba mati, takut tiba-tiba terhempas dilempar ke tanah lapang yang mustahil setiap jengkalnya dikenali. Aku sepuluh tahun yang lalu takut mati.

Saking takutnya mati, anak sepuluh tahun itu hidup dengan harap cemas takut tak sempat tumbuh dewasa karena terlalu segera diminta kembali. Makin dewasa makin enggan, makin banyak yang sukar ditinggalkan. Saking takutnya mati, anak sepuluh tahun itu kini justru ditinggal mati. Satu per satu mulai absen hadiri pesta ulang tahun pun perayaan tuntasnya bulan suci; anak sepuluh tahun itu kini jadi takut tak kunjung mati. Takut doanya dijabah, takut diberi umur panjang sampai jadi manusia terakhir sebelum raganya melebur lagi menjadi tanah. Takut terlalu larut dalam hidup sampai lupa kalau yang tersayang sudah lama mati. Aku sepuluh tahun yang lalu dan kini masih sama-sama takut ditinggal sendiri. Aku sepuluh tahun kini takut ditinggal mati.