Aku mau dicintai sebagaimana mestinya.
Bunda biasa sisihkan brokoli sewaktu makan sebab tahu anak sematawayangnya kelewat benci sayuran. Biasanya hanya akan ada ayam, atau mungkin dengan sedikit taburan wortel yang telah diparut halus sampai wujud aslinya samar.
Ayah biasa reparasi sepedaku dengan tangannya sendiri, entah ketika roda atau pedalnya sedang ogah berfungsi. Biasanya akan diperbaiki di teras rumah, satu cangkir kopi yang asapnya masih mengepul tinggi, akhir pekan pukul tujuh pagi.
Aku terbiasa dicintai sejuta kali lebih besar daripada semesta. Tanganku tak pernah sekalipun dibiarkan mengadah sebab mereka bakal dengan senang hati memberi bahkan sebelum diminta—entah itu berwujud buku baru, ponsel pintar, atau sekadar panjatan doa.
Aku terbiasa dicintai sebegitu besarnya, dari rambut yang hampir tak pernah sekalipun dibiarkan basah ketika musim hujan tiba atau ulang tahun yang dipastikan tak akan absen selebrasinya.
Beranjak dewasa, aku tetap mau dicintai sama besarnya. Aku mau dicintai sebagaimana Bunda yang tak pernah lupa siapkan bekal dengan menu favoritku di dalamnya. Aku mau dicintai sebagaimana Ayah yang tak pernah absen bawaku berkelana meski hanya sampai di ujung kota.
Aku mau cintanya besar sebab cinta yang kupunya juga sama besarnya. Aku mau dicintai tanpa malu dan ragu, aku mau cinta yang menyambut, aku mau cinta yang bawaku ke mana saja tanpa rasa takut.
Ayah dan Bunda adalah perwujudan cinta paling magis dan sempurna; bukti bahwa cinta maha besar itu benar adanya. Cinta memang seperti itu. Cinta memang begitu seharusnya. Oleh karenanya, beranjak dewasa, aku mau mencintai dan dicintai sebagaimana mestinya.
